
Fight to be the best and ever be fearless in the face of adversity
Decky Irmawan
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan berbagai pemandangan alam yang menarik adalah anugerah yang diciptakan Tuhan untuk melengkapi rangkaian keindahan Indonesia. Selain pantai, pulau-pulau dan pegunungan yang eksotis, Provinsi NTT juga kaya akan khazanah kebudayaan lokal yang menghasilkan karya agung berupa kain tenun/ ikat dengan berbagai motif.
Menariknya, kondisi iklim di Provinsi NTT juga bervariasi. Wilayah bagian selatan seperti Pulau Sabu yang berbatasan laut dengan Australia, cenderung beriklim lebih kering. Sedangkan wilayah bagian utara di Flores terutama Kabupaten Manggarai beriklim lebih basah. Berdasarkan data Rata-Rata Curah Hujan Dasarian Zona Musim (ZOM) di Nusa Tenggara Timur Periode Tahun 1991 – 2020, Sabu memiliki curah hujan sebesar 1320 mm/tahun dan tercatat sebagai salah satu wilayah dengan curah hujan terendah di Provinsi NTT. Sedangkan rata-rata curah hujan pada periode yang sama di wilayah Manggarai tercatat sebanyak 2247 mm/ tahun, menjadikannya sebagai wilayah dengan curah hujan tertinggi di Provinsi NTT.

Tak banyak pegawai BMKG yang memiliki pengalaman bertugas di dua wilayah yang kontras tersebut. Salah satunya adalah Decky Irmawan, yang pada awal November 1996 mengawali tugas di Stasiun Meteorologi Tardamu di Sabu yang memiliki elevasi 20 meter dpl. Kesan yang diingatnya tentang Sabu adalah salah satu pulau di selatan Indonesia yang memiliki pantai yang bersih, masyarakat yang ramah dan kaya akan budaya.
Sabu adalah pulau yang memiliki topografi bervariasi, dengan tanah dan vegetasi berwarna kecoklatan karena curah hujan yang rendah. Selain itu, kelembaban udara yang rendah menyebabkan padang rumput yang kering menjadi mudah terbakar. Namun memasuki awal musim penghujan, pemandangan tersebut berubah menghijau seiring dengan masuknya musim hujan.
Pada masa itu, untuk menuju ke Sabu melalui udara melalui Kupang dilakukan menggunakan pesawat Merpati dengan frekuensi seminggu sekali. Sedangkan jika melalui laut dapat menggunakan ferry atau kapal laut juga dengan frekuensi seminggu sekali. Namun saat terjadi gelombang tinggi, kapal akan menunda keberangkatan dengan pertimbangan keselamatan berlayar. Menurutnya apabila terbentuk siklon tropis di perairan sebelah utara – barat wilayah Australia, maka perairan di sekitar Pulau Sabu kerap menerima imbas dari siklon tropis tersebut berupa angin kencang, hujan lebat dan gelombang tinggi.
Dengan frekuensi penyeberangan yang terbatas tersebut, maka pasokan logistik seperti bahan bakar terutama untuk energi listrik berbasis diesel dan kebutuhan ekonomi lainnya juga terbatas. Pada saat ia bertugas di sana, umumnya listrik menyala hanya pada jam 18.00 hingga jam 06.00 esok harinya sehingga tentu saja mempengaruhi kegiatan operasional. Untuk mengatasi kondisi tersebut, para pegawai operasional termasuk dirinya memanfaatkan genset atau accumulator sebagai pengganti listrik untuk mengaktifkan perangkat komunikasi Single Side Band (SSB) agar dapat mengirimkan informasi cuaca, karena fasilitas internet di masa itu memang belum tersedia.
Pengalaman selama bertugas di Sabu tersebut merupakan bekal berharga dalam menjalani kehidupannya. Saat ini tentu saja tentu saja keadaan di Sabu sudah jauh lebih dan lebih mudah dengan fasilitas yang lebih memadai.
Di tahun 2021, amanat datang kepadanya untuk kembali ke NTT. Namun, tujuannya kali ini adalah Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega di kota Ruteng wilayah Kabupaten Manggarai yang memiliki elevasi 1143 meter dpl. Perjalanannya menuju tempat tugas baru di awal Januari 2021 disambut dengan hujan yang makin mengesankan Ruteng sebagai kota hujannya Provinsi NTT.
Sejak tiba di kota itu hingga saat ini, menurutnya Ruteng adalah salah satu kota hujan di Indonesia. Secara umum, hujan cenderung terjadi pada siang hingga sore hari dan sesekali disertai halimun yang mengurangi jarak pandang. Dengan curah hujan yang tinggi, tak heran apabila pemandangan bukit dan lembah di Kabupaten Manggarai tampak selalu hijau.

O ya, perjalanan ke Ruteng dapat dicapai melalui perjalanan udara langsung dari Kupang. Atau jika melakukan penerbangan dari Jakarta, Surabaya dan Denpasar, dapat melalui Labuan Bajo. Perjalanan laut seperti tol laut dan ferry, juga dapat melalui Labuan Bajo. Selanjutnya menempuh perjalanan darat selama tiga setengah jam melalui pemandangan yang menakjubkan seperti sawah berbentuk jaring laba-laba (lodok lingko).

Selain memiliki curah hujan yang tinggi, Ruteng juga tercatat sebagai salah satu kota terdingin di Indonesia. Suhu minimum yang pernah tercatat adalah 5.4°C dicapai pada tanggal 30 Juni 2003. Sedangkan suhu rata-rata hariannya mencapai 20°C. Dengan kondisi suhu tersebut, kita akan dapati kebiasaan masyarakat Ruteng mengenakan sarung tenun yang tebal khas Manggarai (songke) untuk menghangatkan diri.
Tak banyak kesulitan yang dihadapi Decky dan keluarga selama berada di Ruteng karena secara umum fasilitas yang diperlukan tersedia dengan baik. Hanya saja pada waktu-waktu tertentu tidak ada kegiatan penerbangan di Bandara Frans Sales Lega karena kondisi cuaca menjadi pertimbangan bagi maskapai untuk menjadwal ulang penerbangan dari dan ke Ruteng. Sehingga, untuk melakukan perjalanan udara harus menuju ke bandara di kota sebelah seperti Bandara Komodo di Labuan Bajo atau Bandara Soa di Bajawa.