Kisah Inspiratif Yesi Christy Ulina Sianturi, S.Tr., M.Sc, Perempuan Batak yang Menembus Batas Sosial dan Akademik, mendapatkan LoA dari tiga universitas Amerika Serikat
Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak pemalu namun berprestasi. Dari SD hingga SMA, Yesi kerap mewakili sekolahnya dalam olimpiade sains, matematika, dan fisika, bahkan Bahasa Indonesia, baik di tingkat kota maupun provinsi. Sosok yang paling berperan dalam tumbuhnya kecintaan pada sains adalah ibunya sendiri—seorang guru IPA yang selalu menemani dan menyemangatinya dalam setiap perlombaan.
Namun, pada tahun terakhir SMA, ujian besar datang. Sang ibu berpulang setelah sakit cukup lama, tepat di saat Yesi dan abangnya bersiap masuk perguruan tinggi. Kehilangan ini mengguncang keluarga, apalagi sang ibu selama ini menjadi tumpuan finansial. Dalam situasi sulit itu, seorang kerabat sempat berkata: “Yesi nggak usah kuliah saja. Abangnya saja yang kuliah, kan laki-laki.”
Dalam tradisi Batak, anak laki-laki memang lebih diutamakan karena mereka yang akan meneruskan marga dan menjadi kepala keluarga. Tapi Yesi tak mau menyerah pada narasi itu. Ia yakin bahwa dirinya—meski perempuan—juga berhak mendapatkan pendidikan tinggi.
Masuk STMKG, Menjawab Tantangan dengan Prestasi
Untuk tidak membebani keluarga, Yesi mencari jalur pendidikan yang bisa ditempuh tanpa biaya besar. Ia menemukan informasi tentang STMKG, salah satu sekolah kedinasan di bawah BMKG. Ia mendaftar, mengikuti seleksi ketat, dan diterima sebagai taruni.
![]() |
Yesi saat lulus STMKG |
Selama menjalani pendidikan di STMKG, Yesi menunjukkan komitmen tinggi. Ia tekun, disiplin, dan terus mengejar ilmu dengan semangat. Pada tahun 2016, ia resmi lulus dari program D-IV STMKG. Latar belakangnya yang penuh tantangan tidak menjadi alasan untuk menyerah—justru menjadi bahan bakar untuk melangkah lebih jauh.
Dari Pekanbaru ke Inggris: Satu Minggu Menuju Beasiswa Dunia
Yesi ditugaskan ke Stasiun Meteorologi Pekanbaru, lalu ke Kedeputian Klimatologi BMKG Pusat. Ketika mendengar peluang beasiswa WMO Fellowship, ia awalnya ragu mendaftar karena waktu tersisa hanya seminggu. Namun dorongan dari senior membuatnya berani mencoba.
Dalam kondisi sakit karena alergi, Yesi menulis proposal sambil menangis menahan gatal. Ia berjuang menyelesaikan semua berkas dan mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari University of Reading, Inggris, hanya dalam waktu satu minggu.
Beberapa bulan kemudian, ia dinyatakan terpilih sebagai WMO Fellow. Ia pun melanjutkan studi S2 di Inggris—suatu pencapaian yang belum pernah dicapai anggota keluarganya sebelumnya. Ia menyampaikan kabar bahagia itu pada sang ayah di hari ulang tahunnya. Sebuah hadiah yang tak ternilai.
Dari Minoritas Jadi yang Terbaik
Selama satu tahun di Inggris, Yesi menghadapi tantangan budaya, bahasa, dan sistem pendidikan yang sangat berbeda. Namun ia membuktikan bahwa semangat belajar dan keberanian bisa mengalahkan segala keterbatasan.
Hasilnya luar biasa: Yesi meraih George Dugdale MSc Prize, penghargaan untuk mahasiswa terbaik di jurusannya. Bagi Yesi, ini bukan sekadar prestasi akademik—tapi pembuktian bahwa perempuan dari negara berkembang pun bisa sejajar di panggung dunia.
Menyusun Lompatan Baru: PhD di Amerika
Sepulang dari Inggris, Yesi mengalami reverse culture shock. Ia sempat merasa kehilangan arah karena ritme kerja birokrasi yang berbeda jauh dari dunia akademik internasional. Ia memutuskan menunda studi lanjut agar bisa lebih matang merancang langkah berikutnya.
Lima tahun kemudian, ia kembali melamar ke berbagai universitas dan program beasiswa. Di tengah proses, ia harus menjalani tes TOEFL saat terpapar COVID-19, dan menyiapkan dua resepsi pernikahan sambil mengurus berkas aplikasi.
Hasilnya sepadan: Yesi lolos beasiswa LPDP dalam satu kali percobaan dan mendapatkan LoA dari tiga universitas Amerika Serikat. Ia akhirnya memilih University of California, San Diego (UCSD) untuk melanjutkan studi PhD in Oceanography.
Dengan perut yang membuncit lima bulan kehamilan, Yesi berangkat ke Amerika bersama suaminya. Kini, ia tengah menjalani tahun kedua program doktoralnya, sambil membesarkan buah hati dan membangun riset akademiknya.
"Saya mungkin tidak mewariskan marga untuk anak saya, tapi saya mencantumkan marga saya di tulisan-tulisan ilmiah internasional—yang mudah-mudahan lebih abadi."
Hari ini, Yesi tak hanya menjadi alumni STMKG yang berhasil tembus S3 di Amerika, tapi juga mentor bagi banyak perempuan lain. Ia aktif mendampingi ibu-ibu muda yang ingin kembali kuliah, dan percaya bahwa pendidikan adalah hak yang setara, bukan berdasarkan jenis kelamin.
Yesi membuktikan bahwa anak perempuan yang dulu nyaris tidak kuliah bisa menjelajahi dua benua, menorehkan namanya di jurnal ilmiah, dan mewakili Indonesia di panggung akademik global.
0 Komentar