Di antara deretan kisah hebat alumni STMKG tentang perjuangan meraih aktualisasi diri, dorongan yang tumbuh dari dalam untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, terpatri kisah seorang perempuan yang berangkat dari keluarga biasa, namun dengan warisan luar biasa.
Lusinda Indri Astuti bukan sekadar alumni STMKG lulusan 2017. Ia adalah putri sulung dari Pak Slamet Suyitno Raharjo, mantan Direktur STMKG (2018–2020), dan seorang teladan dalam pengabdian di bidang geofisika Indonesia.
Lahir di Sragen, Jawa Tengah, saat sang ayah masih menempuh pendidikan Fisika di Universitas Indonesia, Lusinda sudah akrab dengan kisah pengorbanan sejak dini. Ketika adiknya lahir di Halmahera Barat, sang ayah sedang melanjutkan studi di Universitas Tokyo, Jepang. Lusinda kecil tumbuh dengan satu pemahaman sederhana: menuntut ilmu sering kali menuntut jarak dan pengorbanan.
![]() |
Lusinda bersama keluarga |
Bersama keluarganya, ia berpindah-pindah dari Jakarta ke Jayapura, lalu ke Manado, hingga kembali ke Sragen. Dari sana ia belajar tentang keberagaman budaya, tentang keamanan yang relatif, hingga standar sosial yang berbeda. Ia tumbuh dalam kontras antara Jayapura yang sederhana dan Manado yang menjunjung tinggi penampilan luar. Ia menyerap semuanya, belajar menyesuaikan diri di setiap tempat baru.
Tak hanya menyerap pengalaman hidup, Lusinda juga menyerap keteladanan ayahnya. Dulu ia pikir ayahnya bepergian hanya untuk “benerin alat”. Baru kemudian ia sadar bahwa yang dilakukan adalah tugas pemeliharaan peralatan BMKG, tugas penting yang menyentuh kepentingan publik di seluruh negeri.
Menapaki Jejak Sang Ayah, Lalu Menemukan Jalannya Sendiri
Tahun 2012, Lusinda memutuskan mendaftar ke STMKG. Ia mencoba mengikuti jejak sang ayah. Namun di balik keputusan itu, ada beban tak terlihat. Sebagai anak dari tokoh yang dikenal luas, ia dibayangi ekspektasi dan prasangka: bahwa ia diterima karena “anak siapa”. Tak jarang ia dijuluki “panitia remedial”, sering berada di peringkat bawah.Namun ia tidak menyerah. Dengan segala keterbatasannya, ia bertahan, menyelesaikan kuliahnya, dan lulus dari STMKG pada tahun 2017 dengan gelar Sarjana Terapan Geofisika. Ia tidak menjadi yang terbaik, tapi ia tetap berdiri, tetap melangkah.
Usai lulus, Lusinda kembali ke Manado. Ia ditempatkan di Pos Magnet Tondano, bagian dari Stasiun Geofisika Kelas I Manado. Di sinilah ia menjalani tugas di tengah hamparan sawah, tanpa lampu jalan, dan dengan akses internet yang kadang hilang saat hujan deras. Lokasinya 32 km dari Kota Manado, memakan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan, dengan jalan yang berliku dan rawan longsor.
Namun, tempat terpencil ini bukan kutukan. Justru di sinilah Lusinda menemukan kedewasaan. Ia belajar mengandalkan diri sendiri saat kendaraan mogok di tengah sawah. Ia belajar bersabar ketika listrik padam dan sistem pengamatan lumpuh sementara. Ia belajar menyatu dengan alam yang memberikan ketenangan tak tergantikan—suara burung di pagi hari dan langit malam yang bertabur bintang, jauh dari polusi kota.
Menjadi Kuat di Tempat yang Sunyi
Di Pos Magnet Tondano, Lusinda tak hanya bekerja. Ia tumbuh. Ia belajar bahwa tidak semua ilmu datang dari bangku kelas. Ia menempa dirinya dengan resiliensi, kemampuan untuk bangkit setelah terpukul. Ia menghidupi growth mindset, keyakinan bahwa kemampuan berkembang lewat kerja keras, bukan semata bakat bawaan.
Ia menghidupi filosofi Richard Lazarus: bahwa bagaimana seseorang menafsirkan tantangan akan menentukan sejauh mana ia mampu beradaptasi. Ia mungkin bukan lulusan terbaik. Ia tidak berdiri di panggung-panggung besar. Tapi ia tahu satu hal: menjadi “biasa-biasa saja” pun perlu perjuangan, komitmen, dan keberanian untuk tetap berdiri meski tak mendapat tepuk tangan.
Lusinda menyadari bahwa setiap orang memiliki titik awal yang berbeda. Dan perjalanan, sejauh apa pun, tetap sah jika dilakukan dengan kejujuran. Ia belum sampai di puncak aktualisasi diri, tapi ia sedang mendakinya—dengan langkah yang ia pilih dan jalan yang ia ukir sendiri.
"Jalan terbaik menuju diri yang sejati justru dibangun di tempat yang paling sunyi, paling jauh, dan paling sederhana."
Kunjungan TK ke taman alat BMKG Pos Magnet Tondano menjadi salah satu momen yang menunjukkan bahwa keberadaan di tempat terpencil pun bisa bermakna. Di tengah keterbatasan, Lusinda menjadi representasi wajah BMKG bagi masyarakat.
Untuk para alumni STMKG dan taruna-taruni yang merasa ragu akan masa depan di daerah, yang takut tidak cukup hebat, kisah Lusinda adalah pengingat. Bahwa keteguhan tak selalu lahir dari panggung besar, tapi juga dari jalan kecil yang dilalui dengan sepenuh hati.
Karena dalam kesederhanaan, justru seseorang bisa menemukan kekuatannya yang sejati.
0 Komentar