Selamat datang di laman resmi IKAMEGA — Ikatan Alumni AMG, BPLMG, dan STMKG, wadah kebersamaan alumni yang bersatu, profesional, dan berdampak bagi bangsa

Dari Ngawi ke Negeri Jauh: Kisah Duo Sahabat yang Menjadi Pakar Iklim Nasional


Jejak Ilmu dan Persahabatan Dr. Supari dan Dr. Siswanto

Kami berdua lahir dari keluarga petani. Orang tua kami pernah gagal panen karena akibat anomali iklim. Kini kami punya kesempatan mengabdi pada para petani dengan illmu iklim dan layanan iklim BMKG

Ada kisah yang menarik untuk dikenang dari sebuah kota kecil bernama Ngawi yang terletak di ujung barat Jawa Timur. Kota ini mungkin tidak banyak dikenal sebagai pusat ilmuwan atau pusat riset, namun dari kota inilah lahir dua nama yang kini dikenal sebagai pakar iklim nasional di BMKG. Mereka adalah Dr. Supari dan Dr. Siswanto, dua sahabat yang tak hanya bertumbuh bersama, tetapi juga menapaki jenjang karier dan akademik nyaris bersisian sepanjang hidup mereka.

Segalanya bermula di SMA Negeri 2 Ngawi. Mereka adalah dua siswa yang lulus pada tahun 1997 dengan mimpi besar yang belum terdefinisi secara pasti, namun keduanya sama-sama tertarik pada langit dan gejala alam. Pada tahun yang sama, mereka mendaftar dan diterima di Akademi Meteorologi dan Geofisika yang kini dikenal sebagai STMKG. Di sinilah jalan hidup mereka mulai berpadu lebih erat.

Siswanto kiri dan Supari kanan bersama rekan seangkatan mereka


Tahun 2000, keduanya resmi menyandang gelar Diploma III Meteorologi dari AMG. Supari ditempatkan di Stasiun Meteorologi Pangkal Pinang, Bangka Belitung yang kini menjadi Stasiun Meteorologi Depati Amir. Sementara itu, Siswanto menjalani tugasnya di Stasiun Klimatologi Negara, Bali yang kini dikenal sebagai Stasiun Klimatologi Bali. Meskipun terpisah oleh laut dan ribuan kilometer, semangat belajar mereka tetap terjaga.

Empat tahun kemudian, mereka kembali bertemu. Tahun 2004 menjadi momen penting ketika keduanya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas MIPA, jurusan Fisika Universitas Indonesia. Di kampus ini, mereka bukan hanya mahasiswa pindahan dari akademi kedinasan. Mereka hadir dan bersaing di kelas yang penuh dengan lulusan terbaik SMA dari seluruh Indonesia. Namun hasilnya mengejutkan. Supari dan Siswanto justru mencetak sejarah. Mereka menempati peringkat satu dan tiga di jurusan fisika, mengungguli puluhan mahasiswa lainnya yang merupakan lulusan segar dari sekolah-sekolah unggulan.

Kisah mereka tidak berhenti di situ. Selepas menyelesaikan S1 pada tahun 2006, mereka menempuh studi lanjut ke jenjang magister. Supari mengambil program S2 dengan skema gelar ganda antara Universitas Gadjah Mada dan University of Twente di Belanda. Sementara Siswanto mengejar gelar S2 di Swiss, negeri yang dikenal dengan ketelitian dan kedalaman riset ilmiahnya. Ilmu dan pengalaman internasional ini memperkaya sudut pandang mereka dalam memahami dinamika iklim tropis dan tantangan klimatologi Indonesia.

Setelah menyelesaikan studi, keduanya kemudian pindah kerja di Kantor Pusat BMKG di Jakarta. Di sana mereka bergabung dengan Kedeputian Klimatologi dan mulai menunjukkan kontribusi yang nyata dalam berbagai riset, publikasi ilmiah, serta perumusan kebijakan iklim nasional. Namun dunia akademik seolah masih terus memanggil mereka.

Tidak lama setelah itu, keduanya kembali melanjutkan studi ke jenjang doktoral. Siswanto kembali ke Eropa untuk menempuh pendidikan S3 di Belanda pada Vrije Uninersiteit, Amsterdam. Sedangkan Supari melanjutkan program doktoralnya pada  National University of Malaysia di Kuala Lumpur, memperkuat jejaring riset dan kerja sama di kawasan Asia Tenggara.

Kini, dua nama yang dahulu belajar bersama di Ngawi dan melanglang buana ke berbagai penjuru dunia itu, dikenal sebagai dua dari sedikit pakar iklim Indonesia yang memiliki pemahaman mendalam, rekam jejak publikasi, serta peran strategis dalam isu-isu klimatologi nasional dan internasional.

"Terlahir dari kampung, berbekal tekad dan ketekuan, siapa sangka jalan kami bisa sejauh ini. Kami beruntung mendapatkan kesempatan menimba ilmu ke berbagai tempat dan mengikuti berbagai training ke negara lain."

Kisah Dr. Supari dan Dr. Siswanto adalah kisah tentang kemitraan yang langgeng, bukan hanya dalam persahabatan, tetapi juga dalam komitmen terhadap ilmu pengetahuan. Ini adalah pengingat bahwa keberhasilan tak selalu lahir dari kota besar atau latar belakang mewah, melainkan dari hati yang sabar belajar dan jiwa yang tak lelah berjuang.

Bagi para taruna, taruni, dan alumni STMKG yang sedang melangkah di jalur pendidikan dan pengabdian, kisah ini menyampaikan pesan sederhana namun kuat. Bahwa sejauh apa pun jalan yang kita tempuh, yang terpenting adalah melangkah bersama ilmu, dan tidak pernah melupakan dari mana kita berasal.

0 Komentar