Menjaga Langit di Ujung Utara: Kisah Anak Kota yang Mengabdi di Perbatasan- Kisah Rafael Alesandro Marbun, S.Tr.
Dari Kota Manado yang sibuk dan serba mudah, Rafael Alesandro Marbun—alumni STMKG angkatan 2008—memulai perjalanan panjangnya sebagai insan BMKG. Kota tempat ia dibesarkan menawarkan segala kemudahan: mall besar, jalanan lebar, sekolah dan universitas ternama, bandara internasional, dan harga kebutuhan pokok yang murah.
Namun, Desember 2009 menjadi titik balik. Saat teman-teman seangkatannya melangkah ke kota-kota besar, Rafael justru ditugaskan ke sebuah titik paling utara Indonesia: Pulau Sangihe, sebuah pulau kecil berbatasan langsung dengan Filipina.
Dari jendela pesawat kecil yang membawa dirinya ke Pulau Sangihe, Rafael hanya melihat hamparan laut luas dan deretan pohon kelapa. Tidak tampak kota, gedung, atau pusat keramaian. “Ini nggak ada penduduknya, ya? Ini kantornya yang mana?” gumamnya dalam hati.
Stasiun Meteorologi Kelas III Naha menjadi rumah barunya—sebuah titik kecil dalam peta Indonesia, tapi besar dalam makna pengabdian.
Dari Fasilitas Kota ke Keterbatasan Pulau
Transisi dari Manado ke Sangihe bukan perkara mudah. Jalur laut menjadi akses utama, memakan waktu 24 jam, dan kerap terhenti selama musim baratan karena gelombang tinggi. Kadang, transportasi laut bisa berhenti hingga berminggu-minggu. Ketika itu terjadi, kelangkaan sembako pun tak terelakkan—bahkan ikan laut pun bisa lenyap dari pasar karena nelayan enggan melaut.
Akses udara? Ada, tapi penuh teka-teki. Dikenal dengan istilah sarkastik "jadwal 3-5"—tiga kali dijadwalkan terbang dalam seminggu, tapi lima kali dibatalkan. Akses internet? Nyaris tak ada. Untuk sekadar menelepon keluarga, Rafael harus berdiri di pagar rumah atau berjalan ke desa tetangga mencari sinyal. Dunia modern seolah menjauh.
Namun, bukannya mundur, Rafael justru semakin teguh.
Dari Gundah Jadi Giat
Sebagai pegawai termuda di stasiun itu, awalnya ia diliputi keraguan dan kesepian. Tapi hangatnya sambutan para senior dan keramahan warga perlahan menghapus kegundahannya. Ia belajar, beradaptasi, dan menyelami kehidupan sebagai penjaga langit di perbatasan negeri.
Dalam keterbatasan, ia justru menemukan makna pengabdian yang sejati. Ia tak hanya menjalankan observasi cuaca, tapi juga menyuarakan peran BMKG kepada masyarakat, dari nelayan hingga pemerintah daerah. Ia membangun jejaring, menjalin kepercayaan, dan memastikan bahwa informasi meteorologi bisa menjangkau hingga ke kampung-kampung paling terpencil.
“Integritas dan tanggung jawab,” katanya, “adalah fondasi utama saya dalam menunjukkan eksistensi BMKG di wilayah ini.”
Menjadi Wajah BMKG di Ujung Negeri
Rafael bukan hanya menjalankan tugas administratif. Ia menjadi wajah BMKG di wilayah perbatasan, menjalin kerja sama lintas instansi, membina hubungan dengan media lokal, dan aktif menyampaikan informasi cuaca yang krusial bagi sektor perikanan, pertanian, transportasi laut dan udara, serta kebencanaan.
Tugas-tugas ini dilakukan bukan dalam gedung megah ber-AC, melainkan di tengah gangguan sinyal, aliran listrik yang tak selalu stabil, dan kondisi cuaca ekstrem. Tapi ia tetap berdiri tegak. Dari pulau kecil ini, ia membuktikan bahwa pengabdian tidak mengenal batas geografis.
Dari Taruna ke Kepala Stasiun
Setelah 15 tahun 7 bulan mengabdi, Rafael kini dipercaya menjadi Kepala Stasiun Meteorologi Kelas III Naha – Kepulauan Sangihe. Ia bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga inspirator bagi generasi muda, khususnya alumni STMKG yang ditempatkan di pelosok negeri.
Rafael (paling kiri) saat masih sebagai Taruna STMKG |
Di tangannya, tugas bukan sekadar rutinitas, melainkan panggilan hati.
“Kalau saya bisa, kalian juga pasti bisa. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga langit negeri ini?”
— Rafael Alesandro Marbun, Penjaga Perbatasan
Rafael adalah potret dari insan BMKG yang memilih untuk tidak menyerah pada tantangan, tetapi menjadikannya bagian dari perjuangan. Dari kota penuh fasilitas ke pulau penuh keterbatasan, ia tetap berkarya dan mengabdi.
Bagi adik-adik taruna–taruni STMKG dan para alumni yang kini bertugas di wilayah terpencil, kisah Rafael adalah pengingat bahwa keberhasilan bukan soal di mana kita bertugas, tapi bagaimana kita menjalani amanah itu—dengan integritas, ketulusan, dan semangat menjaga negeri dari langit terluar.
0 Komentar