Selamat datang di laman resmi IKAMEGA — Ikatan Alumni AMG, BPLMG, dan STMKG, wadah kebersamaan alumni yang bersatu, profesional, dan berdampak bagi bangsa

Dari AMG ke Monash: Jejak Nurhayati sebagai PIC Program Continuous Greenhouse Gases Measurement WMO

 
"Prakiraan cuaca itu bukan hanya tentang langit, tapi tentang bagaimana hidup orang-orang di bawahnya bisa diselamatkan."
~ Dra. Nurhayati, M.Sc


Dari ruang kelas sederhana Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) di Jakarta, seorang perempuan muda bernama Nurhayati memulai langkahnya dengan tenang. Lahir di Bogor, 20 November 1958, ia menjadi bagian dari generasi awal perempuan yang menapaki jalan karier di dunia ilmu kebumian, bidang yang pada masanya masih sangat didominasi laki-laki.

Lulus dari jurusan Meteorologi AMG sekitar tahun 1980, Nurhayati mengawali pengabdiannya di Badan Meteorologi dan Geofisika. Ia menjalani masa ikatan dinas selama hampir lima tahun, menuntaskan tugas-tugas teknis sambil mengasah kecermatan dan ketangguhan. Meski tampil sebagai sosok yang lembut, Nurhayati memiliki semangat belajar dan bertahan yang luar biasa.

Momen reuni AMG 1980 pada tahun 2024 pada kediaman Nurhayati


Langkah Panjang Menuju Dunia Akademik Internasional

Setelah menyelesaikan masa tugas awal, ia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 Fisika Meteorologi di Universitas Indonesia, program yang terkenal menantang dan hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa. Satu angkatan saat itu hanya berjumlah sekitar 30 orang. Di tengah kesibukan kerja dan tuntutan peran sebagai perempuan Indonesia, ia memilih terus menapaki jalur ilmu.

Tawaran beasiswa ke luar negeri pun datang. Nurhayati mengambilnya sebagai amanah besar. Ia melanjutkan program S2 di Monash University, Australia, dalam bidang Environmental Science dengan fokus Air Pollution, dan lulus pada tahun 1994. Dengan itu, ia tercatat sebagai perempuan pertama alumni AMG yang berhasil menempuh pendidikan pascasarjana di luar negeri.


Menjawab Tantangan Global dari Dalam Negeri

Setelah kembali, karier Nurhayati semakin melesat. Ia dipercaya mengemban berbagai peran penting di BMKG, baik dalam bidang operasional, edukasi, maupun diplomasi ilmiah internasional. Ia pernah menjabat sebagai kepala bidang dan kemudian menjadi  Kepala Pusat Iklim, Agroklimat, dan Iklim Maritim saat Kedeputian Klimatologi resmi berdiri di BMKG pada tahun 2009.

Antara 2005 hingga 2009, Nurhayati menjadi Person in Charge (PIC) untuk program Continuous Greenhouse Gases Measurement dan bertindak sebagai kontak resmi Indonesia untuk Global Atmosphere Watch (GAW) di bawah naungan WMO. Dalam peran ini, ia terlibat langsung membangun kepercayaan dunia internasional terhadap data pengamatan Indonesia.

Kala itu, laporan Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai pengemisi karbon terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Tiongkok, berdasarkan data kebakaran hutan tahun 1997. Tetapi pengamatan CO₂ di Stasiun GAW Koto Tabang Padang, yang ia koordinasikan, menunjukkan angka yang lebih rendah dibanding rata-rata global, bahkan lebih rendah dari stasiun Mauna Loa di Hawaii. Temuan ini menjadi dasar penting untuk mematahkan persepsi global yang keliru terhadap emisi karbon Indonesia.


Keteladanan di Tengah Keterbatasan

Dalam setiap langkahnya, Nurhayati tak pernah melupakan dukungan keluarga. Ia mengakui bahwa budaya kerap menjadi hambatan bagi perempuan untuk berkarier, tapi ia beruntung memiliki orang-orang terdekat yang mendukung pilihannya. 

Saat menjabat sebagai Kepala Pusat Iklim, Agroklimat dan Iklim Maritim, Ia juga tak ragu untuk turun langsung ke lapangan, mengunjungi Sekolah Lapang Iklim di berbagai provinsi sentra pangan, berbagi ilmu kepada petani dan masyarakat.

Nurhayati saat membuka SLI di Jawa Barat tahun 2016
Gambar @bmkg

SLI 2014 di Banten yang mendapat apresiasi dari WMO
Gambar  @Staklim Banten


Inovasi Layanan Cuaca dan Iklim yang Lebih Ramah Masyarakat

Di bawah kepemimpinannya selaku Kepala Pusat Meteorologi Publik, BMKG mulai mengadopsi pendekatan impact-based forecast dan risk-based warning seperti yang dianjurkan oleh WMO. Konsep ini mengubah cara prakiraan disampaikan. Bukan hanya menyebutkan cuaca, tetapi juga menjelaskan dampak dan memberikan rekomendasi praktis. Misalnya, bukan sekadar menyebut angin kencang, tapi juga menyebut bahwa pelayaran Merak–Bakauheni bisa terganggu akibat kondisi tersebut.

Format informasi BMKG pun mulai disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, seperti BNPB yang menghendaki sistem color coding untuk peringatan dini hingga ke tingkat kabupaten. Nurhayati terlibat dalam merancang sistem informasi ini, dari prakiraan harian, mingguan, hingga musiman.


Mendorong Generasi Baru dan Penguatan Kapasitas Daerah

Tahun 2016, Nurhayati menjabat sebagai Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG. Tantangannya bukan lagi sekadar teknis, melainkan bagaimana membangkitkan semangat pegawai muda agar memiliki ketertarikan mendalam terhadap meteorologi. Ia membentuk task force untuk menangani tugas-tugas teknis dan mendorong penguatan kapasitas stasiun BMKG di seluruh Indonesia melalui pelatihan dan koordinasi lintas provinsi.

Salah satu terobosannya adalah meluncurkan program MOSAIC (Masyarakat Indonesia Sadar Iklim dan Cuaca). Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana hidrometeorologi serta memperkuat literasi iklim. Dari inisiatif ini, berkembang pendekatan baru dalam penyampaian informasi cuaca: prakiraan berbasis dampak (Impact-Based Forecast/IBF).

Konsep IBF kemudian disempurnakan dalam sistem BMKG Signature (System for Multi Generations Weather Model Analysis and Impact Forecast), yang dikembangkan bersama BNPB dan BPBD DKI Jakarta. Sistem ini tidak hanya menyajikan data cuaca, tetapi juga menjelaskan potensi dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari—seperti terganggunya pelayaran, ancaman banjir, atau kebakaran hutan.



Dari Praktisi ke Widyaiswara Utama: Ilmu yang Terus Dihidupkan

Setelah menjalani berbagai posisi strategis di bidang klimatologi dan meteorologi publik, Nurhayati tak lantas berhenti berkarya. Ia melanjutkan pengabdiannya sebagai Widyaiswara di lingkungan BMKG, sebuah peran yang berfokus pada pendidikan, pelatihan, dan transfer ilmu kepada generasi penerus. Pengalamannya yang luas di tingkat nasional dan internasional menjadikannya sosok yang tepat untuk membimbing para pegawai muda memahami nilai pengabdian dan pentingnya sains iklim.

Dedikasi dan kontribusinya pun mendapat pengakuan tertinggi. Nurhayati diangkat sebagai Widyaiswara Utama, menjadikannya perempuan pertama di BMKG yang mencapai jenjang fungsional tertinggi dalam bidang ini. Sebuah capaian yang tak hanya mencerminkan kompetensi, tetapi juga keteladanan dan integritas yang ia bangun selama puluhan tahun.

Saat pengukuhan sebagai Widyaiswara Ahli Utama

Melalui peran sebagai widyaiswara, Nurhayati terus menyalakan semangat belajar dan inovasi di lingkungan BMKG. Ia percaya bahwa ilmu tak seharusnya berhenti di meja kerja, tetapi terus dibagikan, ditumbuhkan, dan diwariskan. Karena pada akhirnya, pengetahuan yang berdampak adalah pengetahuan yang terus hidup lewat orang lain.



Timor Leste: Perjalanan Tugas yang Membawa Pulang Nostalgia

Di penghujung masa baktinya di BMKG, Nurhayati masih menunjukkan dedikasi yang tak surut. Tahun 2023, ia terlibat dalam program internasional yang digagas oleh WMO, yakni Systematic Observation Financing Facility (SOFF). Dalam kegiatan tersebut, ia turut berkontribusi dalam penyusunan National Contribution Plan dan Country Hydromet Diagnostic (CHD) Meeting untuk mendukung peningkatan kapasitas Direcção Nacional de Meteorologia e Geofísica (DNMG), lembaga meteorologi nasional Timor Leste.

Nurhayati bersama tim SOFF BMKG saat berkunjung ke Pos Meteorologi Baucau Timor Leste yang dulunya adalah Stasiun Meteorologi Baucau

Kunjungan ke Timor Leste ini bukan sekadar perjalanan tugas. Bagi Nurhayati, tempat itu menyimpan kenangan pribadi yang dalam. Puluhan tahun silam, Timor Timur adalah tempat ia dan suami memulai kehidupan rumah tangga. Saat itu, sang suami ditugaskan sebagai Koordinator BMG di wilayah tersebut. Di sana pula mereka menghabiskan masa bulan madu, sebelum akhirnya berpisah dengan Timor Timur yang kini telah menjadi negara sendiri.

Bersama suami dan putranya

Keterlibatannya dalam mendampingi DNMG tidak berhenti di situ. Hingga kini, Nurhayati masih menjadi bagian dari jaringan pengembangan kelembagaan meteorologi Timor Leste yang difasilitasi oleh WMO. Ia tetap setia menjaga semangat kolaborasi, memastikan negara tetangga itu bisa tumbuh bersama dalam membangun sistem pengamatan iklim dan cuaca yang tangguh. Sebuah penutup perjalanan karier yang hangat dan penuh makna.



Jejak Nurhayati bukan hanya tentang keberhasilan akademik atau jabatan tinggi. Ia adalah tentang tekad seorang perempuan Indonesia yang membuka jalan bagi generasi setelahnya. Ia menempatkan ilmu sebagai alat pengabdian, dan menjadikan BMKG bukan hanya institusi teknis, tetapi juga mitra strategis untuk pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

0 Komentar