Selamat datang di laman resmi IKAMEGA — Ikatan Alumni AMG, BPLMG, dan STMKG, wadah kebersamaan alumni yang bersatu, profesional, dan berdampak bagi bangsa

Dari Cahaya Cempor Menuju Langit Cambridge - Jejak Inspiratif Dr. Pepen Supendi

 
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi kita bisa memilih bagaimana menghadapinya
Dr. Pepen Supendi, S.T., M.Si

Di sebuah kampung terpencil di pedalaman Banten, tak jauh dari wilayah suku Baduy, lahir seorang anak bernama Pepen Supendi. Jauh dari gemerlap kota, kampung itu menawarkan kesederhanaan dan kebersamaan sebagai modal kehidupan. Tanpa listrik dan fasilitas memadai, cahaya cempor menjadi satu-satunya penerangan malam hari, dan alam adalah buku pertama tempat Pepen belajar membaca dunia.

Sejak kecil, ia terbiasa menggembala kambing, memanen cengkeh, dan menyaring pasir dari sungai untuk dijual. Bukan sekadar bertahan hidup, tetapi itulah bentuk tanggung jawab yang ia pahami sejak dini. Namun di tengah keterbatasan itu, Pepen menanam mimpi besar: melangkah ke dunia luas lewat pendidikan.


Langit yang Mulai Terang

Bersekolah di SD kampung dengan dua guru dan bangunan sederhana, Pepen tetap tampil sebagai siswa unggul. Setiap malam, ia belajar di bawah redupnya cahaya cempor, mengeja kata demi kata, memaknai ilmu dengan ketekunan yang tak tergoyahkan. Doa-doa ibunya dan nasihat ayahnya menjadi bahan bakar harapan di tengah gelapnya malam.

Perjalanan ke SMP sejauh 12 km pun ia tempuh demi belajar. Ketika biaya menjadi kendala, ia sempat mengurung diri di lemari pakaian karena merasa tak punya masa depan. Tapi cinta orang tua mengubah semuanya. Dengan tekad bersama, keluarganya mendukung setiap langkahnya.


Bermimpi Besar di Kota Kecil

Lulus SMP dengan prestasi gemilang, Pepen masuk SMAN 1 Rangkasbitung, sekolah favorit di daerahnya. Ayahnya rela pindah dan mengontrak rumah kecil demi pendidikan sang anak. Di sekolah, Pepen tak hanya juara umum setiap tahun, tapi juga aktif di OSIS, Pramuka, Rohis, KIR, dan berbagai lomba ilmiah. Ia percaya: “Orang lain bisa, saya juga harus lebih bisa.”

Namun biaya kuliah setelah lulus SMA kembali menjadi tantangan. Ia gagal di seleksi STAN dan politeknik lain, hingga secara tak sengaja menemukan brosur Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG). Dalam waktu sempit, ia mendaftar dan lulus sebagai salah satu dari segelintir yang diterima dari ribuan pelamar.


Menjadi Emas di Jakarta

Memulai pendidikan di AMG (kini STMKG) pada 2005, Pepen menghadapi dunia yang sangat berbeda. Jakarta yang ramai dan disiplin sekolah kedinasan menjadi tantangan besar. Untuk bertahan hidup, ia mengajar les privat, menyiasati biaya hidup serba pas-pasan.

Pepen Supendi saat menjadi taruna AMG dan setelahnya

Di tengah kesibukan akademik dan tekanan ekonomi, prestasi Pepen justru bersinar. Ia menjadi lulusan terbaik D-III Geofisika pada tahun 2008. Namun kebahagiaan itu tak lengkap: orang tuanya tidak bisa hadir di wisuda karena masih bekerja sebagai TKI di Arab Saudi.


Duka yang Menguatkan, Doa yang Mengantar

Tahun 2011, kabar duka datang dari Makkah. Ayahnya wafat di tanah suci, tak sempat menyaksikan putranya meraih puncak pendidikan. Ibunya pulang dengan kapal laut dalam program pemulangan TKI, membawa duka dan cinta yang tak tergantikan.

Pepen menepati janjinya, berziarah ke makam ayahnya di Makkah dua belas tahun kemudian saat menjalani studi lanjutan di Inggris. Di sana, di hadapan pusara ayahnya, ia merenungi betapa jauh perjalanan yang telah ia tempuh dari kampung kecil hingga ke dunia global.


Menembus ITB: Gelar Sarjana yang Diraih Sambil Mengabdi

Selepas lulus, ia kembali mengabdi di BMKG sebagai PNS. Namun hasrat belajarnya belum padam. Ia melanjutkan pendidikan S1 (alih jenjang) di Teknik Geofisika ITB. Ia menyelesaikannya dengan IPK 3.88 pada Oktober 2013—dijalani sambil tetap bekerja dan menghidupi keluarga. Di sinilah ia mengasah kemampuan akademik yang membawanya ke jenjang lebih tinggi.


Menggenggam Gelar Magister dengan IPK Sempurna

Ia kembali menempuh S2 di ITB dengan bidang Seismologi. Tantangan waktu dan tanggung jawab sebagai suami, ayah, dan ASN tak menjadi penghalang. Ia berhasil meraih gelar Magister Sains dengan IPK 4.0 (cumlaude)—pencapaian yang menunjukkan dedikasi dan kecintaannya pada ilmu pengetahuan.


Menggapai Doktor di Tengah Tiga Peran

Perjalanan S3 di ITB adalah salah satu fase paling berat dalam hidupnya. Dengan izin belajar dari BMKG, ia menjalani tiga peran sekaligus: pegawai, mahasiswa doktoral, dan peneliti. Ia menjalani shift malam sebagai observer gempabumi, lalu langsung ke kampus ITB untuk kuliah atau meneliti. Jadwal padat, kurang tidur, dan tekanan studi membuat tubuhnya sempat kolaps dan harus dirawat di rumah sakit. Tapi tekadnya tak padam. Ia bangkit dan terus maju

Disertasinya di bidang tomografi seismik tidak hanya tuntas, tetapi juga mendapatkan predikat cumlaude dan IPK sempurna 4.0. Meskipun sidang doktoralnya dilakukan secara daring akibat pandemi COVID-19, pencapaian itu terasa utuh: ia telah melampaui batasan yang pernah ditetapkan oleh hasil tes IQ-nya di masa SMA.


Babak Baru: Cambridge dan Dunia Ilmiah Global

Perjalanan akademik Dr. Pepen mencapai titik terang baru ketika ia mendapat undangan research visit ke University of Cambridge pada akhir 2019. Selama sebulan, ia bekerja bersama ilmuwan dunia, menyelesaikan riset, dan menjalin jejaring ilmiah. Lorong-lorong tua universitas bergengsi itu menyadarkannya: "Inilah tempat di mana ilmu pengetahuan benar-benar hidup.

Kunjungan itu menjadi batu loncatan. Pada akhir 2020, Prof. Nicholas Rawlinson menawarinya posisi sebagai peneliti postdoctoral di Department of Earth Sciences, Cambridge. Pada 1 Oktober 2021, ia resmi memulai babak baru dalam hidupnya.

Di Cambridge, ia menjalankan riset intensif dalam bidang tomografi seismik, sesar aktif, dan tektonik global. Ia tak hanya menulis dan menerbitkan puluhan makalah internasional—hingga Agustus 2024, sudah 79 paper ia publikasikan—tapi juga aktif mewakili Indonesia dalam forum-forum ilmiah dunia seperti EGU, AGU, dan IUGG.

Profil pada Google Scholar


Penelitian lapangannya bahkan membawanya ke daerah ekstrem seperti Islandia, tempat ia mempelajari aktivitas vulkanik paling intens di dunia. Setiap retakan bumi yang ia teliti adalah bagian dari upaya untuk memahami dan mengantisipasi risiko bencana bagi umat manusia.

Cambridge tidak hanya memperkuat kapasitas akademiknya, tapi juga membentuknya sebagai ilmuwan global. Ia tidak hanya menjadi "peneliti dari Indonesia", tetapi juga mitra ilmiah dunia yang menjembatani pengetahuan dari kampung halaman ke panggung global.

Kisah lengkapnya di sini

0 Komentar